
Situs Sokoliman dan Kehidupan Purbakala
Situs Sokoliman adalah tempat penyimpanan dan pelestarian peninggalan budaya dari masa Megalitikum atau masa batu besar. Luas situs ini 2000...
artikel
19 Februari 2021
Bagikan
Jejak Pembuktian
Padukuhan
Brayut, Kalurahan Pandowoharjo, Kapanewon Sleman pernah menjadi markas pejuang
saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Terdapat peristiwa penting yang
tercatat dalam memori sejarah, tepatnya pada 6 Mei 1949 pejuang Suryo Suparjo
memimpin pertempuran terhadap pasukan Belanda yang menuju Turi.
Ternyata
jumlah pejuang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pasukan Belanda,
sehingga sebanyak 14 orang gugur, antara lain Sarjiman, R. Budiwiyono, Darmo
Suprapto, Prawirodimejo, Kromo, Suridikromo, Cokrowiharjo, Jono, Kusen,
Haryono, Suprapto, R. Supraptoharjo, Wongso Paijo, dan Dalijo. Beberapa pejuang
yang selamat bersembunyi di sebuah pipa irigasi timur padukuhan. Oleh warga
Brayut saat ini, pipa tersebut disebut bunker. Untuk mengenang pertempuran
tersebut, Pemerintah Kabupaten Sleman membangun monumen tetenger Brayut.
Keberadaan
Brayut yang vital saat itu meninggalkan berbagai jejak perjuangan rakyat.
Menurut Sudarmadi, pengelola Desa Wisata Brayut, saat beliau muda terdapat 4
truk dan 2 motor harley bekas kendaraan operasional tentara rakyat yang
dirampas dari tangsi tentara Jepang. Sayangnya kendaraan tersebut saat ini
tidak dapat ditemui kembali karena telah dijual sebagai barang rongsok.
Berbagai
senjata rampasan juga ditemukan di beberapa rumah penduduk seperti karaben,
mauser, dan gerund. Peluru dan bom bagaikan harta karun bagi para
pejuang pada masa lalu. Pernah ditemukan
setidaknya 360 butir peluru dan granat di sekitar pondasi rumah warga, hingga
bom seberat 21 kilogram di pinggir sungai sebelah timur padukuhan. Kemungkinan
di Brayut masih ada kotak-kotak besi berisi amunisi yang masih terpendam.
Sebelum
menjadi padukuhan seperti saat ini, Brayut di awal tahun 1900-an merupakan
pusat Kelurahan Brayut. Walaupun sebagai pusat kelurahan, saat itu kantor lurah
masih berada di rumah lurah yang menjabat. Setidaknya terdapat 2 rumah joglo
yang pernah digunakan sebagai kantor kelurahan yaitu Joglo Mertoredjan dan
Joglo Kartopiyogo. Fungsi sebagai kantor lurah bertahan hingga akhir tahun
1940-an karena terjadi blengketan atau penggabungan kalurahan Brayut dengan
Majegan, Jabung, Sawahan, dan Tlacap menjadi Kalurahan Pandowoharjo.
Brayut
memiliki beragam bentuk rumah tradisional Jawa yang terawat dengan baik. Ragam
bentuk rumah tradisional Jawa yang ada antara lain joglo, limasan sinom, limasan
cere gancet, limasan pacul growang, dan kampung.
Usia
rumah-rumah tersebut rata-rata setengah abad bahkan lebih, tentunya menyimpan
nilai penting bagi keluarga pemilik maupun warga Brayut. Salah satunya adalah
rumah joglo Mertoredjo. Pemilik asal joglo Mertoredjo adalah Lurah Mertoredjo
yang merupakan lurah pertama Brayut dan merupakan keturunan Sri Sultan
Hamengkubuwono II. Sebagai keturunan ningrat dan menjadi pimpinan di suatu
wilayah, menjadikannya berhak untuk membangun rumah joglo.
Rumah
joglo sebagai bangunan tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta berkerangka
bangunan utama terdiri dari empat tiang utama atau saka guru sebagai
penyangga dengan saling mengunci dengan tumpangsari yaitu susunan balok
yang disangga saka guru.
Ruang-Ruang yang Tetap
Terjaga dan Tidak Pernah Sepi
Joglo
Mertoredjo terbagi menjadi dua yaitu bagian luar dan dalam. Bagian luar terdiri
dari teras, pendopo, dan pringgitan. Roda pemerintahan kelurahan
pada masa Lurah Mertoredjo bertempat di pendopo. Model pendopo
bertelundak yaitu pada bagian tengah satu trap lebih tinggi pada bagian emper
sekelilingnya. Hal ini berkaitan dengan pola strata sosial zaman dahulu lebih
tegas. Konon, jika sedang ada pasamuan atau pertemuan, pejabat duduk di
bagian yang lebih tinggi daripada rakyat biasa.
Ruang
bagian dalam digunakan untuk tempat tinggal lurah. Bagian-bagiannya terdiri
dari dalem, senthong kiwa, senthong tengah, senthong
tengen, sepen, dapur, dan lumbung. Sepen berarti ruang yang
paling sempit berada di bagian belakang sebelah barat. Pada zamannya digunakan
untuk penjara atau kurungan sementara bagi pencuri maupun orang yang bertindak
salah. Fungsi "senthong tengah"
telah berubah dari peruntukkan semula, yaitu sebagai tempat menyimpan
benda-benda pusaka seperti keris, patung Dewi Sri, dan sebagainya. Saat ini
difungsingkan sebagai kamar tidur. Bagian terakhir adalah lumbung, ruang ini
cukup vital pada zamannya karena warga Brayut termasuk petani yang memiliki lahan
luas. Setidaknya pada masa Lurah Mertoredjo setiap keluarga memiliki luas lahan
6 ha (hektare).
Joglo
Mertoredjo sempat kosong dan tidak digunakan untuk berbagai aktivitas kurang
lebih 14 tahun karena pada sekitar tahun 1980-an telah ditinggal pemiliknya.
Warga sekitar pada pertengahan 1990-an secara bertahap berinisiatif memperbaiki
bagian-bagian bangunan yang rusak terutama lantai, wuwung, talang,
usuk, reng, dan genteng secara swadaya.
Menurut Vitasurya seorang arsitek yang meneliti bangunan di Brayut, Joglo Mertoredjo masih menggunakan atap empyak raguman yaitu susunan bilah bambu yang ditata secara memanjang, tidak hanya menopang kekuatan namun memberi suasana alami dalam rumah tradisional Jawa. Empyak raguman yang memiliki tingkat kerumitan tinggi saat ini menghadapi ancaman dan tantangan pelestariannya karena tenaga kerja yang mampu mengerjakan struktur atap ini semakin sedikit. Padahal, empyak raguman merupakan bagian bangunan yang menjadi ciri khas Kabupaten Sleman berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 15 tahun 2015 tentang pengelolaan warisan budaya dan cagar budaya.
Kebijakan
pemerintah dalam pelestarian rumah tradisional Jawa di Brayut memberikan dampak
pada kewajiban rumah tangga untuk merawat dan melestarikan karakteristik gaya
bangunan tradisional. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2015
telah menetapkan Joglo Mertoredjo dengan Piagam Penghargaan Nomor 136/PG/2015
tentang Pelestari dan Penggiat Budaya di Bidang Pelestari Warisan Budaya
sebagai bangunan warisan budaya. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah
adanya bantuan dana perawatan oleh pemerintah yang diberikan secara berkala.
Penggunaan dana bantuan tersebut untuk merenovasi terbatas bagian-bagian yang
rusak seperti blandar, empyak,
dan wuwung.
Pola pewarisan Joglo Mertoredjo
tidak membagi atau memecah rumah tetapi
yang dibagi adalah tanahnya. Ahli waris secara sepakat tetap melestarikan rumah
ini sebagai suatu kebanggaan keluarga yang jangan sampai berubah bahkan hilang.
Walaupun kepemilikan tanah telah dibagi waris. Arya Ronald seorang arsitek
kenamaan pernah menyatakan bahwa sifat nyekecakne salira (membuat
nyaman) pada masyarakat Jawa ternyata memberikan pengaruh terhadap penentuan
tempat tinggal yang mengarah pada sasaran kepuasan diri, pengakuan dari
masyarakat, dan kasih sayang yang diberikan masyarakat di lingkungannya. Bahan
yang baik dan kerumitan pembuatan tinggi membuat tidak hanya keluarga pemilik
saja, tetapi seluruh warga Brayut pun bangga untuk melestarikannya.
Atas seizin ahli waris, walaupun
telah turun waris pada generasi ke-4 rumah ini tetap dijaga keaslian
bangunannya dan mulai dipergunakan untuk beberapa pertemuan dan area kegiatan
Yayasan Ani-Ani termasuk juga sebagai homestay dan sekretariat desa
wisata sejak tahun 1997.
(Ditulis oleh
Dias Oktri Raka Setiadi. Tulisan ini mengantarkan penulisnya meraih
juara pertama lomba menulis feature dalam kegiatan Jelajah Budaya Virtual yang
diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta pada tahun 2020)
Situs Sokoliman adalah tempat penyimpanan dan pelestarian peninggalan budaya dari masa Megalitikum atau masa batu besar. Luas situs ini 2000...
Kajian sejarah budaya Indonesia memiliki banyak keunikan. Salah satunya adalah proses pendirian sebuah bangunan suci, yang dikenal masyarakat...
Dalem Jayadipuran pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia Pertama. Hari dimulainya kongres ini kemudian dikenang...
Ik wil geen kwaad spreken van de Indische hotels. Integendeel. Het Grand Hotel te Djocja b. v. kan met de beste hotels in Europa wedijveren...
De in den oostmoesson zoo kalme, maar in den regentijd zoo wilde Opak slingert zich als een slang door de vlakte en komt nu hier dan daar door het...
Semburat cahaya matahari di ufuk timur menandai hari baru pada 11 Desember 2009, sebuah pagi yang biasa saja bagi kebanyakan orang. Semua orang...