
Menyingkap Misteri Candi Abang
De in den oostmoesson zoo kalme, maar in den regentijd zoo wilde Opak slingert zich als een slang door de vlakte en komt nu hier dan daar door het...
artikel
30 Juni 2022
Bagikan
Candisingo merupakan
nama dari sebuah padukuhan yang ada di Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan.
Nama padukuhan ini berasal dari keberadaan temuan candi yang dikenal dengan
nama Candi Singo. Berdasarkan laporan dari masa Hindia Belanda, keberadaan
candi Singo, tidak bisa dilepaskan dari dua candi lain yang letaknya
berdekatan, yaitu Candi Keblak dan Candi
Bubrah.
J.W. Ijzerman dalam buku
Beschrijving der Oudheden nabij de
grens der residenties Soerakarta en Djogdjakarta (1891) menyebut jika Candi Singo
merupakan bagian dari 3 candi yang disebut Candi Joboan. Candi Joboan terdiri
dari Candi Keblak, Candi Bubrah dan Candi Singo. Letak ketiganya berurutan dari
arah utara ke selatan. Candi Keblak berada sekitar 400 meter di sebelah timur
dari Batu Gudik.
Sementara jarak candi Keblak dan candi Singo sekitar 700
meter. Saat dikunjungi Ijzerman, candi-candi tersebut kondisinya runtuh. Maka
deskripsi yang ditulis Ijzerman pun didasarkan atas tulisan J.F.G. Brumund pada
bukunya Indiana II yang terbit pada tahun 1854.
Candi
Keblak (Geblak)
Pada kunjungannya tersebut, Brumund menyebutkan jika
bangunan candi Keblak masih tersisa separuh dari ukuran tinggi pintu masuk. Bangunan
candi menghadap ke barat. Pada saat J.W. Ijzerman berkunjung, ditemukan ada bagian candi
berupa alas yang dihias. Sementara Rapporten Van Den Oudheidkundigen Dienst (ROD) in Nederlandsch-Indie (1915)
menyebutkan jika kondisi candi tersebut saat itu sudah tertutup perkebunan
tebu.
Sebuah cerita menarik
juga disampaikan oleh Ijzerman. Saat rombongannya mengunjungi candi ini, mereka
menemukan warga desa sedang memotong batu candi untuk digunakan sebagai batu
nisan. Saat kegiatan itu dilakukan tidak ada pengawasan yang dilakukan oleh
tuan tanah. Nampaknya tanah tersebut
masih menjadi milik masyarakat.
Catatan Brumund
menunjukkan intepretasi tentang penamaan Keblak oleh masyarakat. Brumund
menyebutkan jika nama Keblak berasal dari kata Kokokblok (burung hantu, Bahasa Jawa). Hiasan berupa Kokokblok
ini nampaknya pernah ditempatkan di candi ini. Maka masyarakat kemudian
menyebutnya candi Keblak.
Candi Bubrah
Candi Bubrah berada
di tengah-tengah persawahan tegal. Berbeda dengan candi Keblak, candi ini sudah
benar-benar runtuh pada pertengahan abad 19. Brumund menuliskan jika di tanah
tersebut, hanya tersisa sejumlah batuan dan dua yoni yang terpendam. Sebaran
batuan yang terpendam di sekitar lokasi candi ini sangat banyak.
Tanah ini memang
sengaja dibiarkan tidak dibajak, sebab bajak dan sekop yang digunakan bisa menghantam
batu di mana-mana. Sementara arca Siwa dan dua arca Ganesha yang sedikit rusak
dari reruntuhan candi ini sudah diamankan ke Tandjoeng Tirto. Arca-arca
tersebut berukuran sedang.
Candi Singo
Deskripsi tentang
bangunan Candi Singo ditulis Brumund dalam Indiana II (1954). Deskripsi
ini menurut Ijzerman merupakan satu-satunya deskripsi yang mampu menggambarkan kemegahan
Candi Singo. Maka deskripsi dari Brumund ini menjadi rujukan dari tulisan
Ijzerman dan ROD. Candi Singo merupakan candi yang paling besar dan megah
dibanding kedua candi sebelumnya, Candi Keblak dan Candi Bubrah.
Sesuai dengan namanya,
candi ini memiliki empat singa. Singa-singa ini dipasang pada keempat sudut
utama. Masing-masing setinggi delapan
kaki. Singa-singa itu berdiri, hanya dengan kuku kaki belakang dan kepala
menempel ke belakang. Seolah mereka menopang bangunan. Brumund sendiri
terpesona melihat singa tersebut. Tubuh, telapak, kuku-kuku, surai, bagian
kepala dan mata yang menatap serta mulut yang terbuka lebar. Brumund menyebutnya sebagai karya dari seniman
yang sangat terampil.
Berdasarkan catatan
Brumund dan Ijzerman, ketiga candi tersebut memiliki latar keagamaan yang sama
yaitu Hindu. Keberadaan temuan Yoni, arca Siwa, Ganesa menjadi bukti dari pendapat
ini.
Dataran Sorogedug
Ketiga candi tersebut
berada di Dataran Sorogedug (Vlaakte van Sorogedoeg). Dataran ini ada di
sebelah selatan dari Prambanan. Catatan Ijzerman maupun N.J. Krom mengonfirmasi
banyak temuan bangunan candi di kawasan ini. Banyak dari temuan tersebut yang
sudah hilang maupun runtuh.
Ijzerman menyebutkan memang sejak abad 19,
eksistensi bangunan peninggalan purbakala telah berhadapan dengan ancaman
perusakan oleh manusia. Batu-batu berpotongan
halus dari atap dan tembok candi digunakan sebagai bahan konstruksi
jembatan dan jalan-jalan penghubung.
Ada juga batu-batu
yang digunakan untuk pondasi rumah dan pabrik. Bahkan beberapa juga
digunakan untuk penutup dan nisan kuburan. Sementara arca-arca yang
ditemukan di sekitar candi, yang sudah tidak berfungsi sebagai sarana pemujaan,
mulai digunakan untuk kepentingan lain. Mereka
digunakan sebagai hiasan yang cocok untuk taman dan halaman.
N.J. Krom dalam Inleiding Tot De Hindoe-Javaansche Kunst (1920) menyebutkan banyak bangunan purbakala
yang berada di Dataran Sorogedug ini yang sudah runtuh dan tidak diketahui
jejaknya. Beberapa di antaranya memang dibangun menggunakan bahan yang kurang
tahan lama.
Krom juga mengungkapkan fakta lain tentang runtuhnya bangunan
candi di kawasan tersebut. Pembangunan menjadi salah satu penyebabnya. Pada
tahun 1909, sisa-sisa bangunan terakhir di kawasan ini dikorbankan untuk
pembangunan bendungan.
Epilog
Ketiga candi tersebut
saat ini berada dalam keadaan yang
berbeda. Candi Keblak masih menyisakan yoni yang terpendam dan sejumlah temuan
lepas. Nama candi Keblak masih dikenali oleh masyarakat saat ini. Lokasinya di
Kalurahan Bokoharjo. Sementara Candi Bubrah telah hilang jejaknya sama sekali.
Candi Singo juga sudah
tidak ditemukan jejaknya. Candi ini hanya menyisakan sejumlah batu penyusun
candi. Lokasi mereka pun tersebar di rumah-rumah penduduk. Nama Candi Singo masih
tersisa dan menjadi nama sebuah padukuhan, Candisingo. Padukuhan Candisingo
berada di Kalurahan Madurejo, Kapanewon Prambanan, Kabupaten Sleman.
Berdasarkan deskripsi
yang dibuat oleh Brumund, nampaknya candi Singo paling jelas dan bisa
dibayangkan dalam benak pembaca. Pembaca bisa membayangkan kemiripannya dengan Candi
Ngawen yang berada di Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Candi ini juga memiliki
singa di keempat sudut utama. Meski kemungkinan terdapat perbedaan ukuran singa
yang dimaksud. Ukuran bangunan dan orientasi keagamaan dari bangunan candi bisa
jadi berbeda. Candi Singo berdasarkan catatan Brumund merupakan bangunan suci
untuk agama Hindu. Sementara candi Ngawen merupakan bangunan suci untuk agama
Budha.
Hilangnya jejak dari
sejumlah candi seperti uraian di atas, memang menyedihkan. Ini karena mereka
adalah artefak yang menandai kehadiran sebuah peradaban di masa lalu. Tulisan
ini berupaya menyajikan deskripsi tentang ketiga candi yang hilang tersebut.
Deskripsi ini berdasarkan dari laporan yang ditulis pada masa Hindia Belanda.
Meski artefaknya telah hilang tanpa jejak,
catatan tertulisnya seharusnya tetap abadi dan bisa tersampaikan pada
masyarakat.
Ditulis oleh Shinta Dwi Prasasti, S.Hum., M.A.
Pengelola Data Cagar Budaya dan Koleksi Museum
di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
De in den oostmoesson zoo kalme, maar in den regentijd zoo wilde Opak slingert zich als een slang door de vlakte en komt nu hier dan daar door het...
Jejak Pembuktian Padukuhan Brayut, Kalurahan Pandowoharjo, Kapanewon Sleman pernah menjadi markas pejuang saat perjuangan mempertahankan...
Dalem Jayadipuran pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia Pertama. Hari dimulainya kongres ini kemudian dikenang...
Air merupakan kebutuhan pokok bagi manusia. Manusia menggunakan air dalam hampir semua aktivitas sehari-hari, antara lain untuk minum dan...
Pada 14 Juni 2017 Lembaga Purbakala merayakan hari lahirnya yang ke-104. Lembaga ini telah mampu melewati tiga zaman pemerintahan (Belanda, Jepang,...
Prasasti Siwagrha yang berangka tahun 778 Saka (856 Masehi) menyebutkan bahwa Candi Prambanan diresmikan pada tahun tersebut. Peresmian dilakukan...
Rilis Pers Pameran Sejarah Arung Samudradan Warisan Budaya Rempah Nusantara “PENUNGGANG GELOMBANG”