
Membedah Metode Konservasi Cagar Budaya ( Bagian kedua - Seri Konservasi #4)
Hallo, Sobat Millennial! Jumpa lagi dengan Jeka, si konservator kita!! Nah, pada Bulan Januari 2020 lalu, kita sudah membahas mengenai metode...
berita
19 Maret 2019
Bagikan
Kereta api menjadi salah satu moda transportasi yang mampu menghubungkan sejumlah daerah. Jalur pertama Semarang – Kedungjati diresmikan pada tahun 1871, selanjutnya jalur Batavia – Buitenzorg dibuka pada 1873 dan jalur Surabaya – Batavia pada tahun 1878. Pembukaan jalur kereta api ini menandai kian berkembangnya perekonomian di Pulau Jawa. Pengembangan moda transportasi kereta api pada awalnya dihubungkan dengan sejumlah daerah yang memiliki potensi, salah satunya adalah Yogyakarta. Pembangunan rel kereta api di Yogyakarta berkaitan dengan potensi sumber daya alam di Yogyakarta, yaitu perkebunan.
Ada dua perusahaan besar di Jawa yang mempunyai konsesi pengelolaan jaringan kereta api , yaitu SS (Staatsspoorwegen) dan NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg). Untuk wilayah Yogyakarta, stasiun besar yang didirikan SS (Staatsspoorwegen) adalah Stasiun Tugu. Sedangkan stasiun besar milik NIS (Nederlandsch Indische Spoorweg) adalah Stasiun Lempuyangan. Sepanjang jalur kereta api Yogyakarta – Cilacap dibangun beberapa halte/stasiun kecil yaitu Patukan, Sedayu, Rewulu, Sentolo, Kalimenur, Wates, Pakualaman dan Kedundang. Pembangunan stasiun ini juga diikuti dengan mendirikan sejumlah rumah dinas yang ditempati para pengelola stasiun.
Wilayah Kota Yogyakarta banyak memiliki warisan pusaka budaya berupa cagar budaya, khususnya bangunan-bangunan yang mempunyai nilai sejarah. Cagar budaya tersebar diberbagai tempat dan banyak yang belum diketahui oleh masyarakat, padahal objek peninggalan tersebut mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan. Pesatnya pembangunan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sangat berpengaruh pada terjadinya perubahan tata kota yang sangat erat kaitannya dengan lahan yang tersedia dan bangunan yang ada di atasnya. Tidak sedikit pelaksanaan pembangunan mengakibatkan terjadinya perubahan bangunan, dalam arti bangunan yang sudah ada dirubah menjadi bangunan baru sesuai kebutuhan dan keinginan pemilik. Terjadinya perubahan bangunan yang tidak memperhatikan nilai-nilai arkeologi dan perusakan bangunan merupakan peristiwa yang banyak menimpa cagar budaya. Hal ini sangat bertentangan dengan UU No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Untuk itu, sebagai upaya represif perlindungan cagar budaya dan action dalam pelestarian cagar budaya, maka diadakan kegiatan pendataan bangunan seperti Bangunan Stasiun Kereta Api Kedundang dan Stasiun Wates pada tahun 2019.
Hallo, Sobat Millennial! Jumpa lagi dengan Jeka, si konservator kita!! Nah, pada Bulan Januari 2020 lalu, kita sudah membahas mengenai metode...
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan wilayah yang kaya akan objek diduga cagar budaya (ODCB), baik bergerak maupun tidak...
Halo! Sahabat Cagar Budaya! Tetap semangat meski sedang berjuang di tengah wabah Covid-19. Jangan lupa untuk selalu menjaga kesehatan dan...
Pagi yang cerah, 13 Desember 2021, saat matahari mulai beranjak naik, sejumlah karyawan Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa...
Gelar Wicara Cagar Budaya yang disiarkan oleh Radio Sonora Yogyakarta pada Rabu 15 September 2021 membahas penemuan ODCB (Objek Diduga...
“Pemberian kompensasi pelindungan cagar budaya ini merupakan bentuk apresiasi pemerintah terhadap pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya....
Rilis Pers Pameran Sejarah Arung Samudradan Warisan Budaya Rempah Nusantara “PENUNGGANG GELOMBANG”