
Candi Kimpulan: Menemukan Kembali Rumah Tuhan
Semburat cahaya matahari di ufuk timur menandai hari baru pada 11 Desember 2009, sebuah pagi yang biasa saja bagi kebanyakan orang. Semua orang...
artikel
20 Agustus 2021
Bagikan
Kajian sejarah budaya Indonesia memiliki
banyak keunikan. Salah satunya adalah proses pendirian sebuah bangunan suci,
yang dikenal masyarakat sekarang sebagai candi. Pengertian candi menurut Cecep
Eka Permana dalam Kamus Istilah Arkeologi-Cagar Budaya, candi adalah istilah
umum untuk menamakan semua bangunan peninggalan kebudayaan Hindu dan Buddha di
Indonesia; baik berupa pemandian kuno, gapura, atau gerbang kuno,
maupun bangunan suci keagamaan. Bahkan di beberapa tempat di Jawa Timur dan
Jawa Tengah, suatu kelompok arca yang menjadi pundhen desa seringkali disebut “candi”.
Candi-candi tersebut tersebar di wilayah
Indonesia, baik di Sumatra maupun di Jawa. Kita mengenal adanya Candi
Borobudur, Candi Sewu, Candi Gedong Songo di Jawa Tengah, Candi Sambisari, Candi Prambanan,
Candi Kedulan ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara di Jawa Timur ada Candi
Penataran, Candi Singosari, dan Candi Kidal. Di Jawa Barat juga terdapat
kompleks percandian Batujaya.
Nah, di Daerah Istimewa Yogyakarta ada Candi
Kedulan, yang pada tahun 2019 candi induknya rampung dipugar. Candi Kedulan
merupakan candi berlatar belakang agama
Hindu yang berada di Dusun Kedulan, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan,
Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Candi ini pertama kali ditemukan oleh para
penambang pasir pada 24 November 1993. Kemudian sejumlah tindakan pelestarian
berupa ekskavasi penyelamatan, pengumpulan data, dan anastilosis dilaksanakan selama kurun waktu 1993 - 2001. Ada tiga sumber tertulis yang berkaitan
dengan Candi Kedulan antara lain prasasti Sumundul, Pananggaran dan Tlu Ron.
Prasasti Sumundul dan Pananggaran ditemukan tahun 2002. Kedua prasasti ini ditemukan saat berlangsung Studi Kelayakan. Sementara Prasasti Tlu Ron ditemukan pada tahun 2015 pada saat dilakukan kegiatan prapemugaran.
Prasasti-prasasti
tersebut dikeluarkan pada masa pemerintahan raja yang berbeda. Prasasti
Sumundul dan Pananggaran berasal dari masa yang sama yaitu 868 Masehi, masuk
era Mataram Kuna. Kedua prasasti ini
dikeluarkan pada masa raja Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-884 Masehi). Sementara prasasti Tlu Ron
berasal dari tahun 900 Masehi, dikeluarkan pada masa Raja Balitung (898-910 M).
Ada selisih 32 tahun antara terbitnya kedua prasasti tersebut.
Prasasti Sumundul dan Pananggaran memuat
tentang pembangunan bendungan di daerah yang berada di sekitar Candi Kedulan
sekarang. Berdasarkan isi prasasti, pembangunan bendungan digagas oleh saudara
dari raja yang berkuasa yaitu Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala. Bendungan ini
dibangun untuk mengairi lahan pertanian di sekitar bangunan suci. Hasil dari lahan
pertanian ini yang lazim digunakan sebagai persembahan untuk memelihara
bangunan suci. Ini sesuatu yang wajar dilakukan di masa lampau.
Penemuan prasasti Tlu Ron melengkapi informasi
isi dari kedua prasasti yang ditemukan sebelumnya. Prasasti ini mengungkapkan
asal muasal dari pembangunan bendungan yang diuraikan pada prasasti Sumundul dan Pananggaran.
Prasasti Tlu Ron mengemukakan bahwa pembangunan bendungan yang diuraikan dalam
kedua prasasti tersebut mengalami kegagalan hingga 3 kali. Pembangunan yang
pertama gagal karena ada bencana alam. Pembangunan bendungan yang kedua adalah
yang tertera pada prasasti Sumundul dan Pananggaran, juga mengalami kegagalan.
Dan pembangunan ketiga juga mengalami kegagalan. Penyebab dari kegagalan pada
pembangunan kedua dan ketiga ini tidak diketahui dengan jelas.
Pembangunan bendungan yang keempat inilah yang
“beda”. Pembangunan sebuah bendungan yang gagal
hingga 3 kali nampaknya membuat Raja Balitung frustrasi. Akibat kefrustrasian
tersebut, Raja Balitung mengeluarkan
sebuah keputusan yang tak lazim.
Raja Balitung
menunjuk seorang makudur, sebagai
pemimpin pembangunan bendungan. Makudur dalam tradisi Jawa Kuna adalah pemimpin upacara penetapan sima. Sima adalah tanah yang diberi batas dan sebagian hasilnya
untuk menunjang keperluan suci keagamaan.
Tugas makudur
dalam upacara penetapan sima adalah sebagai pembaca mantra dan sumpah. Makudur
juga melakukan tindakan (memecah telur, memotong leher ayam, dan menaburkan
abu) yang mengandung lambang bagi pelanggar aturan yang sudah ditetapkan pada
saat penetapan status sima.
Penunjukan makudur
sebagai pimpinan pelaksana pembangunan
nampaknya
merupakan upaya agar pembangunan bendungan tidak mengalami kegagalan untuk
kesekian kalinya. Kebijakan semacam ini jarang ditemukan pada masa Mataram Kuna. Apakah kegagalan
tersebut berkaitan dengan sikap masyarakatnya yang tidak taat pada keputusan
raja sebelumnya? Bisa jadi kegagalan
hingga 3 kali itu yang membayang-bayangi benak sang raja Balitung, sehingga
mengambil kebijakan tersebut. Apakah itu bentuk frustrasinya sang Raja? Who
knows ?
Keberadaan
prasasti dan candi Kedulan ini memang memberikan sebuah sumbangan baru dalam khazanah kajian sejarah kebudayaan di Indonesia. Pembangunan bendungan di
sekitar candi Kedulan ternyata tidak serta merta berlangsung lancar dalam satu atau dua periode kepemimpinan raja.
Bisa jadi seperti yang tertera
dalam prasasti Tlu Ron,
bahwa pembangunan bendungan berlangsung
hingga 4 kali, di bawah kepemimpinan raja yang berbeda.
Ditulis oleh Shinta
Dwi Prasasti, S.S., M.A.
Pengolah Data Cagar
Budaya dan Koleksi Museum
di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Semburat cahaya matahari di ufuk timur menandai hari baru pada 11 Desember 2009, sebuah pagi yang biasa saja bagi kebanyakan orang. Semua orang...
Dalem Jayadipuran pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia Pertama. Hari dimulainya kongres ini kemudian dikenang...
Ik wil geen kwaad spreken van de Indische hotels. Integendeel. Het Grand Hotel te Djocja b. v. kan met de beste hotels in Europa wedijveren...
De in den oostmoesson zoo kalme, maar in den regentijd zoo wilde Opak slingert zich als een slang door de vlakte en komt nu hier dan daar door het...
Pada 14 Juni 2017 Lembaga Purbakala merayakan hari lahirnya yang ke-104. Lembaga ini telah mampu melewati tiga zaman pemerintahan (Belanda, Jepang,...
Jejak Pembuktian Padukuhan Brayut, Kalurahan Pandowoharjo, Kapanewon Sleman pernah menjadi markas pejuang saat perjuangan mempertahankan...